Pukul 07.15 saya memasuki wilayah taman nasional. Jalanan
sengaja dibuat dari batu-batu gunung yang tersusun rapi berbentuk kotak-kotak
mirip tembok bata di dinding rumah. Dari sini, style ku berkendara sudah harus
berubah. Mulai dari bikers jalan aspal menjadi bikers jalan batu dan tanah
yangh terjal. Lereng-lereng terjal bertaburkan pohon-pohon khas dataran tinggi
selalu setia menemani diriku yang berkonsentrasi penuh dengan kendali motor.
Pemandangan disekitar Desa Ngadas |
Jalanan berbatu itu tidak mengijinkan diriku untuk memacu motorku lebih cepat,
maksimal aku gunakan gigi dua untuk menanjak, fiuuhh… Sambil berdiri di foot
step, tanganku dengan terampil mengedalikan sepeda motor.
Pukul
07.50 saya sampai di Desa Ngadas, Kecamatan Tumpang. Desa tertinggi kedua di
Indonesia yang terletak di 2.100 mdpl. Memasukki gerbang desa, saya berhenti
sejenak untuk istirahat di sebuah warung kecil milik warga. Warung itu
sederhana, hanya menjual minuman dan sedikit sekali makanan ringan, maklum
karena tempat in sangat jauh dari peradaban kota. Sambil menikmati kopi pagi
itu, saya bertanya kepada pemilik warung apakah ada rumah warga yang bisa disewa
untuk ditempati. Pemilik warung itu pun memanggil suaminya yang ternyata
membuka usaha tepat disamping kanan warung. Mas Gimbal, begitu warga
menyebutnya, mempunyai bengkel dan tambal ban satu-satunya di desa Ngadas. Jika
kalian pernah melihat reality show Jackass yang konyol itu, wajah orang ini
mirip sekali dengan Chris Pontius yang berambut gondrong dan konyol wajahnya
hehehe…
Dia
bercerita mengenai rumah-rumah warga yang bisa dijadikan tempat tinggal.
Ternyata peraturan disini sangat ketat. Tidak semua orang bisa bermalam di
pemukiman suku Tengger ini. Warga akan meminta kepada kita beberapa dokumen
pribadi kita, seperti KTP dan buku nikah bagi yang datang berpasangan. Untuk
KTP mungkin tidak menjadi masalah, tetapi untuk buku nikah lain cerita.
Pasangan yang sudah menikah harus menunjukkan buku nikah mereka sebelum
bermalam di rumah warga. Masalahnya: kita tentunya tidak mungkin membawa buku
nikah kemana-mana bukan?
Akhirnya saya memutuskan untuk menginap saja di rumah warga. Mas Gimbal dengan senang
hati segera mengantar saya ke rumah salah satu warga disana. Harga untuk
homestay disini sengaja dipukul rata 250 ribu per hari. Jika beruntung, kita
sudah mendapat hidangan makan dari warga.
Mas
Gimbal memperkenalkan diriku dengan seorang warga bernama Pak Budiono. Dan disitulah
nantinya saya bermalam. Pertama kali bertemu dengannya, saya sedikit terkejut.
Pasalnya dia mirip sekali dengan Didi Nini Towok, seniman Tari dari Jogja. Gaya
bicaranya pun mirip, semi-semi kewanitaan lah hahaha… Pak Budi ini punya warung
bakso dan sesuai dugaan: ini satu-satunya warung bakso di desa ini.
Setelah
berbincang, pak Budi pun segera menujukkan kamarnya. Sebenarnya, menurutku itu
lebih mirip sebuah bungalow kayu. Dengan satu tempat tidur dan kamar mandi di
dalamnya. Kamar itu sangat lah luas, seluruh dinding dan lantainya terbuat dari
kayu jati, kasurnya pun empuk seperti kasur di hotel-hotel mewah, dan yang
paling isitmewa ketika membuka jendela: pemandangan ladang warga dengan
background gunung Semeru yang menjulang ke atas. Terlihat jelas pasir-pasir
vulkanik di Mahameru. Sepertinya hari ini keberuntungan berpihak kepadaku.
Pemandangan dari dalam kamar
|
Sejenak
kunikmati alam pedesaan disitu dengan merebahkan diri di kasur. Angin bertiup
sangat lembut namun dingin menusuk tulang. Diriku membayangkan damainya
orang-orang disini dengan lingkungan yang asri, hijau, dan sejuk seperti ini.
Sementara kutanggalkan segala beban masalah dan kesumpekkan suasana Malang.
Jalanan macet, polusi, emosi di kantor, semua kubuang jauh-jauh saat itu.
Kuhirup dalam-dalam udara pagi itu, kuhirup semua anugerah Tuhan ini.
Pohon-pohon diseluruh bukit nan jauh disana seakan-akan kompak untuk meniupkan
nafasnya ke arah kamar. Semakin membuatku jatuh cinta dengan desa ini. Tenang,
nyaman, dan indah.
Lahan pertanian milik warga ngadas |
Lereng indah yang dipenuhi perkebunan sayur milik warga
|
Tepat
pukul 13.00 WIB. Diriku terbangun, tubuhku sedikit beradaptasi dengan hawa dingin
disini (meskipun ini tengah siang). Segera kuambil peralatan menggambarku yang
sudah kusiapkan sejak kedatangan tadi. Cuaca cukup cerah dan terik, mengingat
ini musim penghujan. Kupacu sepeda motorku menuju jauh di ujung timur desa,
menuju desa tertingi di Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar