Teks dan foto oleh Yudi Indra Setyawan
Bagi orang Malang, nama Cangar sudah tidak asing lagi. Hampir
semua pernah kesana. Ya pemandian air panas yang terletak di lereng Gunung
Welirang ini sangat digemari masyarakat terutama saat akhir pekan. Namun
tahukah jika kita menelusuri jalan ke arah Cangar tadi, kita akan masuk ke
kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo. Jalan itu bahkan bisa tembus
hingga Mojokerto.
Minggu pagi pukul 07.00, cuaca nampak bersih di
Malang kota. Langit biru dengan sedikit awan di angkasa. Dengan penuh niat, saya mengendarai motor menuju ke arah
Cangar-Batu. Tapi sepertinya prakiraan cuacaku tidak hebat hari ini, cuaca
mendung tanpa diduga menyelimuti sekitaran lereng Gunung Welirang dan Gunung
Arjuna. Gunung Arjuna yang terkenal gagah itu pun seolah hilang ditelan kabut
tebal.
“Pembentukan hujan. Memang siklusnya berakhir di gunung,” ujarku sambil
sedikit mengomel. Tanpa ragu kupacu lagi motorku menanjak melewati
perkebunan-perkebunan warga. Nyaris sama dengan Ngadas, hanya saja disini
tingkat kemiringan dan lokasinya tidak seeksotis di Ngadas dan Ranupani.
Hampir seluruh kawasan perkebunan di Cangar dipenuhi tanaman Bunga Kol dan Wortel. Kedua tanaman itu tumbuh sangat subur disini.
Jalan berkelok-kelok dan halusnya aspal membuat perjalanan
semakin menyenangkan. Saat semakin naik, melintasi bukit-bukit dan ladang, hawa
sejuk mulai terasa. Khas dataran tinggi. Menerpa wajah bak angin dari es yang
dihamburkan. Dingin dan sejuk terasa. 45 menit kemudian, saya memasuki gapura
bertuliskan Taman Hutan Rakyat R. Soerjo. “Hmm.. sudah dekat,” gumamku. Di
kiri, saya melihat komplek bangunan mirip
nursery. Ohh.. ternyata itu adalah Arboretum di tahura ini. Menyimpan ratusan
bibit tumbuhan khas dataran tinggi disini. Mengembangbiakkannya dan
merehabilitasinya.
15 menit kemudian. Sampailah saya di pintu masuk Wisata
Pemandian Air Panas Cangar. Eiitt.. tapi bukan kesana tujuanku kali ini. Tapi
jauh masuk ke dalam hutan. Jalanan disitu nampaknya telah diaspal ulang. Halus
dan lembut di permukaan ban motorku.
Dua kilometer dari pintu masuk Cangar. Sampailah saya
di jembatan kembar Watu Ondo. Jembatan dari rangka baja ini melintang diatas tebing curam
dengan sungai kecil yang mengalir sangat deras dibawahnya. Ngeri juga melongok
ke bawah.
Tidak sampai satu kilometer lagi, terpampang plakat di kanan
jalan “Air Terjun Watu Ondo”. Terlihat masih sangat ‘suci’ dan jarang terjamah.
Namun baiknya tempat itu sudah ada yang mengelola dari pihak tahura sendiri.
Terus diriku berkendara. Jalanan mulai gelap. Selain karena
tumbuhan hutan yang semakin lebat, juga akibat mendung yang makin pekat.
Jalanan ini terasa dipayungi oleh tumbuh-tumbuhan hutan lebat. Menebarkan
kedamaian dan kesunyian. Melihat ada spot bagus, saya pun menepi. Mempersiapkan
alat gambarku. Mengatur posisi. Mengatur cahaya. Dan…
Sepanjang jalan memang seperti ini. Menakjubkan.
Cuaca makin memburuk. Kubereskan peralatanku. Segera diriku
bergerak ke arah utara menuju tujuan akhirku. Menara pantau Tahura R. Soerjo.
Hey.. kini saya tidak sendirian lagi. Disepanjang jalan saya ditemani
monyet-monyet gunung. Mereka sengaja bergerombol di sisi jalan, berharap ada
orang yang baik hati melemparkan lusinan cheeseburger.
10 menit berlalu dan sampailah saya di tikungan tajam
menurun ke kanan. Saya tidak akan turun, ke bawah, karena tujuanku ada di
patahan tikungan itu. Disekitar tikungan itu, ada sebuah warung kopi berdiri
dengan pemadangan Bukit Gajah Mungkur di sisi barat. Saya pun parkir motorku di
warung itu. Kusempatkan sejenak menikmati kopi khas daerah pegunungan.
Disitu saya berkenalan dengan seorang fotografer. Fotografer
yang menggeluti bidang langka dalam fotografi. Bidang fotografi yang dari dulu
ingin kuketahui orang-orangnya. Selama enam tahun bergelut di bidang fotografi,
baru kali ini saya melihat fotografer di genre ini secara langsung. Ya seorang fotografer
wildlife. Dia adalah seorang dosen kedokteran Hewan Unair. Sengaja datang
kesini untuk memotret migrasi burung elang. Peralatannya layaknya tentara siap
tempur: Bersenjatakan Nikon D7000, lensa super tele 500mm, dan peralatan
camouflage. Pak Budi Setiawan namanya. Kami pun mengobrol sejenak, sebelum
akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan nanti.
Awan makin menebal dan hitam. Saya bergegas naik ke atas
bukit, menuju menara pengawas. Tapi sebelumnya saya minta ijin dulu ke petugas.
Dia mengijinkan dan berpesan agar hati-hati karena cuaca buruk. Menapaki jalan
setapak sejauh 250 meter nampaknya bukan perkara sulit, tapi bagaimana jika 250
meter itu berupa tanjakan dengan kemiringan 60 derajat. Lain cerita kan?
Nafas terasa berat begitu sampai diatas. Fiuhh… akhirnya saya
melihat sebuah menara pengawas kokoh berdiri. Kondisi menara tersebut masih
sangat terawat dan bersih. Saya menaikki tangga demi tangga. 4 kali lipatan
tangga dan sampai lah aku diatas. Wahh.. pemandangan yang sangat luar biasa
(sebetulnya), tapi hari itu semua nampak putih! Arrghh.. cuaca memang sulit diprediksi.
Di Malang cerah namun disini sebaliknya.
Sampai diatas hujan turun dengan deras. “Lengkap sudah,”
gerutuku. Mirip seperti menara pengawas
singa-singa di Serengeti, Africa. Saya pun mulai berkhayal berada disana. Lumayan
sambil menunggu hujan reda.
Sebetulnya tergantung kita bagaimana menyikapi cuaca seperti ini. Mau dipakai menggambar bisa, mau dipakai menikmati saja silahkan.
Hujan sedikit reda dan saya pun turun. Ternyata Pak Budi masih duduk di
warung dengan kopi panasnya. “Tidak dapat foto, dapat cerita, pegalaman, ilmu,
dan relasi pun tidak jadi masalah,” pikirku. Akhirnya kami pun mengobrol santai
dan asyik hingga lepas pukul 15.00. Ternyata dia sedang berlatih untuk mengikuti lomba birding di Cangar. Tidak tanggung-tanggung, jurinya adalah Budi Hermawan. Anak didik Riza Marlon, pioneer dan dedengkot fotografi wildlife di Indonesia. Mereka tergabung dalam BWP (Banten Wildlife Photografer) yang membuat grup di Facebook. Saya pun semakin tertarik mendengarkan cerita seputar fotografi wildlife dengan Pak Budi.
Dan ternyata, tidak tanggung-tanggung, kabar terkini mengatakan bahwa dia berhasil menggondol juara 1 dalam lomba birding wildlife tersebut. Luar biasa!
Dan ternyata, tidak tanggung-tanggung, kabar terkini mengatakan bahwa dia berhasil menggondol juara 1 dalam lomba birding wildlife tersebut. Luar biasa!
Tidak terasa memang. Hujan sedikit reda,
hanya hujan gunung, biasa terjadi di dataran tinggi. Dengan tangan kosong dari
atas, saya pun turun kembali ke Malang. Demikian pula dengan Pak Budi, turun
kembali ke Surabaya.
Yahh.. begitulah fotografi outdoor. Saya dan Pak Budi pun
pulang dengan tangan kosong. Namun saya mendapatkan relasi, ilmu, dan
pengalaman. Tidak benar-benar pulang dengan kekosongan bukan?