Catatan:

Kamis, 19 Desember 2013

Taman Hutan Raya R. Soerjo


Teks dan foto oleh Yudi Indra Setyawan

Bagi orang Malang, nama Cangar sudah tidak asing lagi. Hampir semua pernah kesana. Ya pemandian air panas yang terletak di lereng Gunung Welirang ini sangat digemari masyarakat terutama saat akhir pekan. Namun tahukah jika kita menelusuri jalan ke arah Cangar tadi, kita akan masuk ke kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo. Jalan itu bahkan bisa tembus hingga Mojokerto.

Minggu pagi pukul 07.00, cuaca nampak bersih di Malang kota. Langit biru dengan sedikit awan di angkasa. Dengan penuh niat, saya mengendarai motor menuju ke arah Cangar-Batu. Tapi sepertinya prakiraan cuacaku tidak hebat hari ini, cuaca mendung tanpa diduga menyelimuti sekitaran lereng Gunung Welirang dan Gunung Arjuna. Gunung Arjuna yang terkenal gagah itu pun seolah hilang ditelan kabut tebal.

“Pembentukan hujan. Memang siklusnya berakhir di gunung,” ujarku sambil sedikit mengomel. Tanpa ragu kupacu lagi motorku menanjak melewati perkebunan-perkebunan warga. Nyaris sama dengan Ngadas, hanya saja disini tingkat kemiringan dan lokasinya tidak seeksotis di Ngadas dan Ranupani.

Bunga Kol adalah salah satu tanaman kebun yang tumbuh subur disini


Petani menggunakan Jeep 4x4 yang dimodifikasi menjadi pick up untuk mengangkut hasil pann mereka

Hampir seluruh kawasan perkebunan di Cangar dipenuhi tanaman Bunga Kol dan Wortel. Kedua tanaman itu tumbuh sangat subur disini.

Jalan berkelok-kelok dan halusnya aspal membuat perjalanan semakin menyenangkan. Saat semakin naik, melintasi bukit-bukit dan ladang, hawa sejuk mulai terasa. Khas dataran tinggi. Menerpa wajah bak angin dari es yang dihamburkan. Dingin dan sejuk terasa. 45 menit kemudian, saya memasuki gapura bertuliskan Taman Hutan Rakyat R. Soerjo. “Hmm.. sudah dekat,” gumamku. Di kiri, saya  melihat komplek bangunan mirip nursery. Ohh.. ternyata itu adalah Arboretum di tahura ini. Menyimpan ratusan bibit tumbuhan khas dataran tinggi disini. Mengembangbiakkannya dan merehabilitasinya.

15 menit kemudian. Sampailah saya di pintu masuk Wisata Pemandian Air Panas Cangar. Eiitt.. tapi bukan kesana tujuanku kali ini. Tapi jauh masuk ke dalam hutan. Jalanan disitu nampaknya telah diaspal ulang. Halus dan lembut di permukaan ban motorku.

Dua kilometer dari pintu masuk Cangar. Sampailah saya di jembatan kembar Watu Ondo. Jembatan dari rangka baja ini melintang diatas tebing curam dengan sungai kecil yang mengalir sangat deras dibawahnya. Ngeri juga melongok ke bawah.

Tidak sampai satu kilometer lagi, terpampang plakat di kanan jalan “Air Terjun Watu Ondo”. Terlihat masih sangat ‘suci’ dan jarang terjamah. Namun baiknya tempat itu sudah ada yang mengelola dari pihak tahura sendiri.

Terus diriku berkendara. Jalanan mulai gelap. Selain karena tumbuhan hutan yang semakin lebat, juga akibat mendung yang makin pekat. Jalanan ini terasa dipayungi oleh tumbuh-tumbuhan hutan lebat. Menebarkan kedamaian dan kesunyian. Melihat ada spot bagus, saya pun menepi. Mempersiapkan alat gambarku. Mengatur posisi. Mengatur cahaya. Dan…

Pemandangan indah di sepanjang Taman Hutan Raya.

Sepanjang jalan memang seperti ini. Menakjubkan.
Cuaca makin memburuk. Kubereskan peralatanku. Segera diriku bergerak ke arah utara menuju tujuan akhirku. Menara pantau Tahura R. Soerjo. Hey.. kini saya tidak sendirian lagi. Disepanjang jalan saya ditemani monyet-monyet gunung. Mereka sengaja bergerombol di sisi jalan, berharap ada orang yang baik hati melemparkan lusinan cheeseburger.

10 menit berlalu dan sampailah saya di tikungan tajam menurun ke kanan. Saya tidak akan turun, ke bawah, karena tujuanku ada di patahan tikungan itu. Disekitar tikungan itu, ada sebuah warung kopi berdiri dengan pemadangan Bukit Gajah Mungkur di sisi barat. Saya pun parkir motorku di warung itu. Kusempatkan sejenak menikmati kopi khas daerah pegunungan.

Disitu saya berkenalan dengan seorang fotografer. Fotografer yang menggeluti bidang langka dalam fotografi. Bidang fotografi yang dari dulu ingin kuketahui orang-orangnya. Selama enam tahun bergelut di bidang fotografi, baru kali ini saya melihat fotografer di genre ini secara langsung. Ya seorang fotografer wildlife. Dia adalah seorang dosen kedokteran Hewan Unair. Sengaja datang kesini untuk memotret migrasi burung elang. Peralatannya layaknya tentara siap tempur: Bersenjatakan Nikon D7000, lensa super tele 500mm, dan peralatan camouflage. Pak Budi Setiawan namanya. Kami pun mengobrol sejenak, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan nanti.

Awan makin menebal dan hitam. Saya bergegas naik ke atas bukit, menuju menara pengawas. Tapi sebelumnya saya minta ijin dulu ke petugas. Dia mengijinkan dan berpesan agar hati-hati karena cuaca buruk. Menapaki jalan setapak sejauh 250 meter nampaknya bukan perkara sulit, tapi bagaimana jika 250 meter itu berupa tanjakan dengan kemiringan 60 derajat. Lain cerita kan?

Nafas terasa berat begitu sampai diatas. Fiuhh… akhirnya saya melihat sebuah menara pengawas kokoh berdiri. Kondisi menara tersebut masih sangat terawat dan bersih. Saya menaikki tangga demi tangga. 4 kali lipatan tangga dan sampai lah aku diatas. Wahh.. pemandangan yang sangat luar biasa (sebetulnya), tapi hari itu semua nampak putih! Arrghh.. cuaca memang sulit diprediksi. Di Malang cerah namun disini sebaliknya.

Sampai diatas hujan turun dengan deras. “Lengkap sudah,” gerutuku.  Mirip seperti menara pengawas singa-singa di Serengeti, Africa. Saya pun mulai berkhayal berada disana. Lumayan sambil menunggu hujan reda.

Dari pada bengong, self-portrait dari atas menara. Berharap cuaca membaik.


Sebetulnya tergantung kita bagaimana menyikapi cuaca seperti ini. Mau dipakai menggambar bisa, mau dipakai menikmati saja silahkan.


Hujan sedikit reda dan saya pun turun. Ternyata Pak Budi masih duduk di warung dengan kopi panasnya. “Tidak dapat foto, dapat cerita, pegalaman, ilmu, dan relasi pun tidak jadi masalah,” pikirku. Akhirnya kami pun mengobrol santai dan asyik hingga lepas pukul 15.00. Ternyata dia sedang berlatih untuk mengikuti lomba birding di Cangar. Tidak tanggung-tanggung, jurinya adalah Budi Hermawan. Anak didik Riza Marlon, pioneer dan dedengkot fotografi wildlife di Indonesia. Mereka tergabung dalam BWP (Banten Wildlife Photografer) yang membuat grup di Facebook. Saya pun semakin tertarik mendengarkan cerita seputar fotografi wildlife dengan Pak Budi.

Dan ternyata, tidak tanggung-tanggung, kabar terkini mengatakan bahwa dia berhasil menggondol juara 1 dalam lomba birding wildlife tersebut. Luar biasa!

Tidak terasa memang. Hujan sedikit reda, hanya hujan gunung, biasa terjadi di dataran tinggi. Dengan tangan kosong dari atas, saya pun turun kembali ke Malang. Demikian pula dengan Pak Budi, turun kembali ke Surabaya. 

Yahh.. begitulah fotografi outdoor. Saya dan Pak Budi pun pulang dengan tangan kosong. Namun saya mendapatkan relasi, ilmu, dan pengalaman. Tidak benar-benar pulang dengan kekosongan bukan?

Selasa, 17 Desember 2013

Tips: Akses Menuju Desa Ranupani dan Bromo



Teks dan foto oleh Yudi Indra Setyawan

Well, sebenarnya untuk pergi ke dua tempat tersebut bisa melewati semua jalur ke wilayah TN-BTS. Hanya saja, kami sangat menyarankan supaya lewat Malang saja. Walaupun sebetulnya bias lewat Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang.

Kenapa harus Malang?


Karena waktu tempuh lebih cepat jika lewat Malang. Bagi yang sudah terbiasa, Malang ke Gunung Bromo bisa hanya 2,5 jam saja. Lagipula letak kedua desa ini berada di belakang Gunung Bromo. Itu artinya lebih dekat lewat pintu Malang.


Pemandangan sepanjang perjalanan dari Malang ke wilayah TN-BTS sangat sangat memukau. Saking memukaunya, road trip dari Malang ke Gunung Bromo masuk dalam tiga besar untuk kategori perjalanan dengan view terindah se-Asia Tenggara. Menarik bukan.

Mari mencari engalaman baru. Sudah terlalu sering orang lewat Pasuruan dan Probolinggo. Namun lewat Malang? Jarang sekali. Mungkin akhir-akhir ini saja banyak yang berdatangan lewat Malang lantaran mereka ingin mengikuti jejak film 5cm. Dimana para pemainnya melewati pintu Malang untuk ke Semeru.


Dan akses kesana?


Jika naik kendaraan bermotor. Sangat disarankan sekali untuk menggunakan motor trail/motor cross. Mengingat sulitnya medan yang dilalui. Atau menyewa Jeep 4x4 yang setiap hari selalu ada di sekitar pasar Tumpang. Tidak sulit mnemukan paguyuban Jeep ini. Lihat saja jalan di sepanjang pasar, jika terdapat banyak Jeep terparkir, ya itu lah mereka. 


Kita bisa memilih lokasi persewaan Jeep. Ada yang mangkal di sekitar pasar, ada juga yang mangkal di rest area. Rest area sebetulnya adalah lahan parkir luas yang terletak beberapa kilometer sebelum masuk pintu TN-BTS. Jadi dari pasar Tumpang, lurus saja, mentok ada pertigaan, belok kiri dan lurus belasan kilometer hingga menemukan tulisan rest area dikiri jalan.


Tanpa kendaraan pribadi? Bisa. Turun Terminal Arjosari Malang. Naik angkot warna putih dengan trayek TA (Tumpang-Arjosari) bilang ke sopir turun Pasar Tumpang. Setelah itu, sewa Jeep 4x4.

Perlu diketahui, meskipun teman-teman semua punya kendaraan 4x4 sendiri, entah itu Jeep Wrangler, Jeep Rubicon, Toyota Land Cruiser, Land Rover, Ford Ranger, dsb. Tetap, kalian harus menanggalkan kendaraan kalian dan beralih ke Jeep milik paguyuban Jeep Suku Tengger. Karena sudah peraturan di wilayah ini, semua pengunjung harus diangkut menggunakan Jeep warga (terkecuali pengendara sepeda motor.)


Tarifnya pun bervariasi. Jika kita naik dari Pasar Tumpang, mereka memasang tarif 500rb/tour. Dari rest area 400rb/tour, dan dari Ngadas 300rb/tour. Kapasitas muat  6-7 orang. Apa maksudnya per tour? Pengendara Jeep akan membawa kita dari lokasi berangkat ke: Penanjakan (menyaksikan sunrise) – Gunung Bromo – lautan pasir – savanna – balik lagi ke starting point.

 Jeep-jeep milik paguyuban BTS sedang menunggu wisatawan di area Penanjakan menyaksikan sunrise



 Jeep 4x4 memang wajib disini. Mengingat medan yang tidak bisa dilalui sembarang kendaraan. Nampak Jeep sedang bermanuver di lautan pasir Bromo.


 Kendaraan Byson seperti ini juga banyak disewakan. Namun tidak di area Malang. Kendaraan in biasa dijumpai ketika masuk wilayah Pasuruan dan Probolinggo


Nah, untuk ke Ranupani. Cukup bilang ke pengemudinya dan jangan lupa uang tambahan untuk driver. Sebab ke Ranupani sudah keluar dari route yang disajikan. Atau jika pandai kalian bias bernegosiasi, dapat harga bagus untuk keliling-keliling sesuka hati. Patut dicoba hehehe..


Tempo hari, saya mengambil sebuah map dari balai besar Taman Nasional-Bromo Tengger Semeru. Map tersebut berisi wilayah kerja para jagawana (petugas taman nasional). Ada rute juga untuk pergi ke desa-desa lain disekitar Bromo.


Peta wilayah kerja Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Bisa kalian perlajari peta ini. Terlihat pula jalan-jalan kendaraan bahkan jalan setapak pun terekam di peta ini. Siap eksplore Taman Nasional BTS ini? Ambil kunci motor trail kalian, bawa ransel penuh perlatan menggambar, dan berangkat! Explore Indonesia!





Senin, 16 Desember 2013

Went Down to Savanna



Teks dan foto oleh Yudi indra Setyawan

Orang-orang biasa menyebutnya savanna, lava-view, atau bahkan bukit teletubies. Ya itu tergantung visualisasi mereka. Dalam sajian sebelumnya, saya berkata mengenai suatu tempat bernama Jemplang. Dimana pemandangan seluruh savanna terlihat denga sangat jelas. Kali ini mari kita mencoba turun untuk melihat savanna lebih dekat. Apakah masih sebagus jika dilihat dari atas bukit?


Di Jemplang ada pertigaan penting, tepat setelah pos pemeriksaan, jika lurus, kita akan menuju ke Ranupani (termasuk ke pos pendakian ke Semeru) dan Lumajang. Jika ke kiri, turun, kita akan menuju ke savanna, padang pasir, dan komplek Gunung Bromo.


Nah sekarang saya mencoba turun belok ke kiri. Jalannya sangat tidak bagus di dekat pertigaan, mungkin belum diperbaiki. Karena akhir-akhir ini pemerintah kabupaten Malang melakukan pengaspalan jalan-jalan menuju Bromo dari arah Malang. Untuk mempermudah akses masyarakat dan arus wisatawan mungkin. Jika mengendarai sepeda motor, berhati-hati lah selalu di rute ini. Terutama dengan kendaraan yang berasal dari arah berlawanan. Sempit sekali lebar jalannya. Terus turun dengan kelokan-kelokan tajamnya. Di sisi kiri, hijaunya savanna ini mendominasi seluruh pemandangan.


Jalan berkelok menuju savanna. Sepanjang jalan kita akan disuguhi lautan hijau rumput seperti ini

Sebuah Jeep 4x4 sedang melaju menuju ke Gn. Bromo melalui savanna ini

Sepuluh menit berkendara santai, tibalah kita di dasar savanna. Hmm… kalian nilai sendiri keindahannya. Menurutku, savanna ini memiliki pesona tersendiri jika dilihat langsung dari bawah. Hamparan luasnya langsung terasa. Seolah kita berada di alam lain. Di negera lain. The lost world.

Jalan berbatu ini yang mengantarkan kita menuju savanna


 Luasnya savanna membuat kita merasa kecil di tempat ini

Tadinya nih, dulu waktu pertama lihat tempat ini dari atas. Saya berpikir bahwa yang di bawah itu adalah rumput-rumput segar gemuk berwarna hijau muda. Ingin rasanya bergulung-gulung disitu. Tapi, begitu kita turun ke bawah. Hmm… rumput-rumput tinggi dan yang keras batangnya lah yang kita jumpai. Silahkan yang mau mencoba gulung-gulung? Hahaha…


Di savanna ini ada sebuah tempat yang begitu menarik perhatian. Yaitu sebuah pohon yang berdiri di bawah tebing terjal sebelah kanan. Pohon ini berdiri sendirian. Menyendiri menahan angin yang datang dari lembah. Tempat yang menarik unutk menikmati pemandangan.

  Di sisi kanan, dekat dengan tebing, kita akan melihat hanya ada satu pohon ini

Jika kita melihat ke sisi tebing. Kita pasti akan takjub. Garis-garis berlapis di sisi tebing seolah mempu menunujukkan usia bebatuan yang ada disini. Berdasarkan informasi dari Balai Besar Taman Nasinal Bromo Tengger Semeru, dulu komplek pegunungan Bromo dan Semeru merupakan satu kesatuan. Ya gunung-gunung itu, savanna, dan padang pasir yang ada disana adalah akibat letusan dari satu gunung, yaitu Gunung Tengger (4,071mdpl)


Gunung itu meletus sekitar 24,000,000 tahun yang lalu. Gunung Tengger ini berdampingan dengan Gunung Semeru. Gunung ini kemudian meletus sehingga puncaknya terpapas dan bekas letusannya membentuk caldera berupa padang pasir yang ditengahnya muncul gundukan/tanah yang disebut dengan Gunung Bromo, Gunung Widodaren, dan Gunung Batok. Pusat dari Gunung Tengger itu sendiri adalah gunung Bromo yang kini masih mengeluarkan asap yang menandakan bahwa gunung ini masih aktif.


Bahkan para ahli berpendapat bahwa di padang pasir hingga savanna itu dulunya sempat terendam air. Tidak diragukan lagi, ada bekas lapisan-lapisan batuan di tebing yang seperti tergerus air. Mirip dengan kolam yang terkuras dan pasti memiliki penanda permukaan air di tepiannya.

Seperti bekas batuan yang terkikis air. Layaknya sebuah kolam yang dikuras.

Sekarang bayangkan, tempat yang saat ini kita pijak adalah dasar dari sebuah danau purba. Woww..

Sangat disarankan bagi kalian semua untuk pergi kesini. Pemandangan seperti ini hanya ada di Indonesia. Tentu kalian tidak akan menyangkan bukan? Terus eksplore dan bagikan pesona negeri ini kepada semua. Kepada seluruh dunia.

 Matahari bersinar dengan cerah. Menghidupkan warna di savanna.

Kamis, 12 Desember 2013

Mengunjungi Desa Tertinggi di Jawa (Part III)

Teks dan foto oleh Yudi Indra Setyawan


Di tengah perjalanan, saya berhenti di pertigaan yang biasa disebut Jemplang. Entah kenapa nama itu diberikan, mungkin karena disitu terdapat pos penjagaan TN-BTS yang dilengkapi portal. Sehingga masyarakat menyebutnya (Jemplangan=jungkat-jungkit dalam bahasa jawa). Di pertigaan itu ada tiga warung makanan yang berjajar di tepi jalan. Disitu mulai terlihat keramaian, rupanya para crosser dengan motor gagah mereka menjadikan tempat itu sebagai meeting point.

“Ah nanti saja mampir sini,” pikirku. Kulanjutkan perjalananku. Seketika saya pun menoleh ke kiri. Di tempat ini lah saya pertama kali takjub dengan keindahan alam ciptaan Tuhan. Disini lah pertama kali aku ingin bersujud untuk mengaggumi kekuasaan Tuhan.

Tempat inilah yang biasa disebut Savanna Bromo.

Savanna Bromo dilihat dari tepi jalan menuju Ranu Pani
Berbukit-bukit indah hijau membentang. Sejauh mata memandang hanya terdapat bukit-bukit yang berwarna hijau. Pernah menonton film Teletubies? Dengan gundukan-gundukan indah berwarna hijau yang menghiasi hampir keseluruhan frame? Ya kira-kira seperti itulah pemandangan disini. Maka tak jarang orang menyebutnya Bukit Teletubies.
            
Sepanjang perjalanan, mata telanjangku disuguhi pemandangan indah ini. Hampir sejauh 3 km savanna ini menemaniku di sisi kiri jalan. Bukit-bukit indah itu berangsur-angsur hilang dari pandangan, tertutup hutan dan jalanan yang semakin menjauh dari bibir savanna. Saya kembali berkonsentrasi di jalanan yang kanan kirinya dipenuhi dengan perkebunan sayur warga.
            
10 menit kemudian, tibalah diriku di gerbang masuk desa. Dari kejauhan sudah Nampak rumah-rumah penduduk khas pegunungan, pendek dan sedikit ventilasi terbuka. Berjajar di perbukitan bagaikan butiran beras yang tercecer di rerumputan hijau. Kabut hilir mudik melintasi pesona alam disana. Dingin menusuk jauh ke dalam tulang. Angin bertiup sepoi seolah tiada henti. Tidak heran jika tempat ini dinobatkan sebagai desa tertinggi di Jawa.

Memasuki Desa Ranu Pani dengan background Gunung Semeru (3,676mdpl) yang mengeluarkan asap
 Tanaman bawang tumbuh subur disini
Ranu Pani (2,200 mdpl) Begitu tulisan yang terpampang di atas pintu masuk desa ini.
            
Dalam bahasa Suku Tengger, Ranu berarti Danau. Mengunjungi dan tinggal di desa yang terletak di ketinggian 2,200 mdpl jelas bukan perkara mudah. Sun block, topi, dan sarung tangan adalah perlengkapan wajib disini. Selesai memarkir kendaraan di tepian danau, saya bergegas menyusuri tepian danau yang indah ini untuk previsualisasi menemukan spot yang indah untuk memotret. Dan akhirnya kutemukan juga.

Ranu Pani
Selesai menggoreskan tinta berupa cahaya. Saya bergegas pindah ke sisi lain jauh di ujung selatan danau. Warga sekitar memberitahuku kalau disitu terdapat jalan masuk menuju Ranu Regulo. Yaitu danau alami lain yang letaknya bersebelahan dengan Ranu Pani. Tidak sampai 10 menit berjalan kaki, tibalah saya di Ranu Regulo. Tidak begitu luas, namun airnya bersih. Disekeliling danau tersebut tampak beberapa lahan eksperimen konservasi tanaman edelweiss yang saat ini di TN-BTS terancam populasinya. Tanah lapang disekeliling danau ini terasa pas untuk camping. “Lain kali saja kesini dan mendirikan tenda hehehe..” pikirku.



 Ranu Regulo yang terletak dibelakang Ranu Pani
Sisi seberang Ranu Regulo
Selesai eksplore, saya sempatkan untuk mengitari danau lagi dan menuju ke pos pemberangkatan pendakian Gunung Semeru. Sekedar mengingat memory masa lalu dengan kawan-kawanku tercinta. Selepas duduk sejenak, tepat pukul 16.00,  aku pun beranjak mengitari danau lagi dan mengambil motor, kembali ke Desa Ngadas.

Perjalanan sore itu sungguh sangat mengagumkan, matahari dengan cahaya hangatnya kembali menerpa savanna yang hijau menggoda. Saya singgah di Jemplangan yang tadi kulewati untuk sekedar menyeruput  secangkir kopi panas nikmat khas Suku tengger. Sambil menikmati suasana sore, diriku duduk diam melamun memandang ke savanna luas di depan mata. Tidak ketinggalan pula, peralatan menggambarku juga ikut memperhatikan indahnya alam ciptaan Tuhan ini.

Pemandangan tepian savanna. Tebing yang indah dan hijau disinari cahaya lembut matahari
Jalanan indah di Desa Ngadas saat matahari mulai terbenam. Desa diatas awan.