Catatan:

Rabu, 29 Januari 2014

Ranu Regulo: Sudut Keheningan Desa Ranu Pani


Teks dan foto oleh Yudi Indra Setyawan

Setelah sempat mendatangi tempat ini satu bulan yang lalu, saya berharap bias mendirikan tenda disini dan menikmati kesunyian ranu ini. Baru pada hari sabtu (25/1) angan saya itu terwujud. Berbekal Eiger Olivine isi lima orang, saya dan beberapa teman mendirikan tenda disana.


Sesampai di pos pemberangkatan pendakian semeru, kami memarkir motor di warung-warung milik warga. Sangat dekat sekali jaraknya dengan pos pendakian, cukup berjalan sekitar 15 menit.

Namun ada yang aneh di Pos pendakian saat itu. Pos yang biasanya sangat ramai, kini berubah menjadi sepi, sama sekali tidak ada orang. Bahkan pintu pos pun tertutup. Setelah sedikit merasa heran dan bingung, ada seorang mengahmpiri kami. Dia mengatakan kalau pendakian ditutup hingga April 2014 karena ada badai ganas di Ranu Kumbolo. Selain itu liburnya pendakian sebagai upaya untuk restorasi alam semeru yang rusak akibat pendaki pemula yang seenaknya sendiri membuang sampah. Mungkin dia mengira kami akan mendaki, padahal tidak.

Dia memperkenalkan diri, namanya Mas Arena. Dia teman sejawat dengan Mas Andi Gondrong yang telah aku kenal sebelumnya. Arena adalah petugas pelestarian edelweiss di sekitar Ranu Regulo. Beruntung kami mengenalnya. Sehingga dia menawarkan rumah kayu tempanya meneliti untuk bermalam. Tapi tidak, kami membawa tenda kami sendiri.
 

Perjalanan pun terasa sangat singkat. Dan sampai lah kami..

Selamat pagi Ranu Regulo; Keindahan dibalik bukit Desa Ranu Pani

Bermalam satu malam serasa kurang. Sekarang, menurut saya, kesunyian Ranu Regulo masih tak terkalahkan daripada Ranu Kumbolo...


Sinar matahari pagi menyinari kesunyian disini

Ranu Regulo cenderung masih asri dan bersih jika dibandingkan dengan Ranu Pani
Sambil menikmati udara pagi, matahari perlahan menyembunyikan parasnya. Pemandangan pun sontak berubah. Warna-warna dedaunan berubah menjadi hangat.
(Secara teknis motret, eksposurenya udah berubah lagi. Menerapkan WB ke suhu Kelvin yang lebih hangat. Dan jadilah...)

Warna hangat dedaunan diperoleh saat matahari tertutup samar awan tipis. Permainan eksposure dan white balance mempengaruhi keseluruhan scene mejadi lebih hangat


Jumat, 17 Januari 2014

Welcome Aboard: KRI Dewaruci


Teks dan foto oleh Yudi Indra Setyawan
Sumber data kapal Dispen TNI-AL

Kalian anak bangsa, siapa yang tidak kenal dengan kapal ini? Siapa yang tidak tahu sepak terjang kapal ini? Atau bahkan tidak tahu apa istimewanya kapal ini? Saya yakin semua tahu dan mengenal baik kapal ini. Jika tidak, nilai patriotisme kalian masih perlu diasah lebih tajam lagi!

KRI Dewaruci sedang docking di Dermaga Ujung, Mako Armatim, Surabaya

Ya, KRI Dewaruci, begitu lah Angkatan Laut kita memberikan namanya. Dibangun pada tahun 1952 di galangan kapal H. C. Stulcken & Sonh, Hamburg, Jerman Barat. Kali pertama diresmikan menjadi jajaran Kapal Perang Republik Indonesia pada tanggal 24 Januari 1953.

Hingga saat ini lonceng ini masih digunakan sebagai isyarat komando pasukan di atas kapal

Untuk kali pertama kapal ini dibawa ke Indonesia oleh para perwira TNI AL dan para Cadet Akademi TNI AL. Sejak saat itu kapal ini digunakan sebagai kapal latih bagi Cadet Akademi TNI AL yang bermarkas di Surabaya. Sejak kali pertama diresmikan pada tahun 1953, KRI Dewaruci telah mengalami pergantian komandan sebanyak 34 kali. Terakhir kali jabatan komandan kapal dipegang oleh Ltk. Anung Susanto.

Anjungan KRI Dewaruci bersanding dengan anjungan KRI Soputan 906

Sebagaimana kita tahu, kapal ini telah mengarungi banyak lautan baik di dalam dan luar negeri. Tercatat kapal ini sudah 2 kali mengelilingi dunia. Yaitu pada bulan Maret – November 1964 dan yang terakhir Januari – Oktober 2012.

Pelayaran keliling dunia pada tahun lalu itu sekaligus menutup perjalanan panjang kapal ini. Karena kapal ini rencananya akan dijadikan monumen sejarah perjuangan TNI AL. Setiap tahun, mulai tahun 1953, kapal ini pasti melakukan pelayaran mengurungi samudera. Kebanyakan berkeliling Eropa dan Amerika (Samudera Pasifik, Samudera Hindia, dan Samudera Atlantik).

Saya sendiri merasa heran dan takjub. Bagaimana kapal ini bisa sangat terkenal? dan setiap tahun kapal ini bisa dipastikan melahap samudera luas? Faktanya anda akan takjub dan itu lah yang mebuat saya berdecak kagum, Kenapa? Karena kalau anda tahu, sebenarnya kapal ini cukup kecil untuk mengarungi samudera luas.

Mari kita cek data kapal:
Tipe  : Barquentine
Panjang kapal  : 58,30 m
Lebar  : 9,50 m
Draft  : 4,50 m
Pendorongan  : 1 diesel, 986 HP

Anda lihat kan? Dengan panjang dan lebar kapal seperti itu, tetap bisa mengarungi samudera luas yang ganas. Tahu kapasitasnya? Kapasitas akomodasi ABK: 81 orang. Cukup banyak dengan ukuran kapal seperti itu. Lantas apa yang membuatnya bisa bertahan di tengah ganasnya ombak samudera? Ya, itu lah bangsa kita, Bangsa Indonesia. Negara kita Negara maritim. Para awak kapal ini sangat-sangat terlatih dalam mengendalikan laju kapal. Padahal pada kenyataannya kapal ini cukup ‘tradisional’ menurut saya. Dan untuk itu lah memang kapal ini dipertahankan hingga sekarang. Sebagai media berlatih para Cadet Akademi TNI AL. Learn the basic! Mereka memang harus belajar dasar-dasar pelayaran melalui kapal seperti ini. Memiliki tiang dan layar.

Rantai, tali, dan tiang kayu. Ciri khas KRI Dewaruci

Total kapal ini memiliki 16 layar dengan luas layar keseluruhan mencapai 1091 m2. Sangat luas bukan? Kecepatan dengan hanya menggunakan layar bisa mencapai 9 knots (16,6 km/jam), jika dibantu dengan mesin bisa meningkat menjadi 10,5 knots (19.5 km/jam)

Layar-layarnya pun dibagi menjadi layar-layar depan (Pelan Jib, Jib luar, Jib Tengah, Jib Dalam, Layar Panji, Layar Sabur, Layar Topang Atas, Layar Topang Bawah, dan Layar Teringket) dan layar-layar tengah (Layar Dastur Sabur, Layar Dastur Pengapuh, Layar Dastur Besar, Layar Gusi Besar, Dan Layar Besar). Masing-masing layar memiliki nama. Bahkan di pengikat tali pun terpampang nama mereka satu persatu.


Tiang dari kayu ini masih sangat terlihat kuat dan kokoh



 Tempat ikat tali memiliki nama masing-masing untuk menghindari kesemrawutan pengikatan. Mengingat KRI ini masih menggunakan layar dan tentu saja akan ada banyak tali disini.


Meskipun terkesan antik, kapal ini memiliki alat-alat navigasi canggih dan komunikasi langsung terarah ke satelit.


Plakat bertuliskan nama-nama laayar, supaya tali-tali lebih teratur.

Geladak kapal ini pun masih terbuat dari kayu. Dan 70% kapal ini memang terbuat dari kayu! Anda lihat tempat nahkodanya. Kemudi kapal yang masih antik khas kapal perompak. Alat navigasinya pun belum modern. Kompas masih menggunakan analog, besar ukurannya penuh dengan angka-angka rumit. Tidak heran kalau pelaut Indonesia disegani di mata dunia. Basic mereka sangat terasah di kapal latih ini.

Kemudi kapal dari kayu membuatnya terlihat gagah dan elegan.



Sebagai kapal latih TNI-AL, kompas manual pun masih digunakan sebagai pedoman arah kapal



Speed Accelerator pun masih manual. Bagi saya, ini keren sekali, KRI Dewaruci jadi terlihat semakin gagah dan berwibawa

Selain menjadi kapal latih TNI AL. Dewaruci juga memiliki misi untuk memperkenalkan budaya Indonesia di mata dunia melalui pertunjukan tari dan music tradisional Indonesia. Ketika singgah di Negara lain, para wak pun akan memainkan kesenian-kesenian daerah khas Indonesia. Selain itu kapal ini memiliki misi untuk membina persahabatan internasional. Berkeliling dunia pasti lah singgah ke Negara-negara lain. Disinilah para awak Dewaruci mulai menjalin persahabatan dengan Negara-negara lain di dunia.

Potret bersama awak KRI Dewaruci

Banggalah kita karena memiliki Angkatan Laut yang gagah dan pemberani. Banggalah kita karena memiliki sebuah kapal latih yang tangguh dan perkasa. KRI Dewaruci, walaupun sudah purna tugas, ijinkan anak-anak bangsa ini menginjakkan kaki di geladakmu. Supaya mereka tahu kebesaran namamu. Bersandarlah disana, kau akan dikenang oleh bangsa.

Jalesveva Jayamahe, KRI Dewaruci

Senin, 13 Januari 2014

Eastern Fleet Exhibition 2014

Teks dan foto oleh Yudi Indra Setyawan


Memasuki area militer dan bebas mengambil gambar apapun? Nampaknya bercanda, namun tidak kali ini. Eastern Fleet Exhibition (EFEX) adalah acara tahunan yang diadakan oleh Koarmatim TNI-AL. Tahun ini pihak Koarmatim mengundang para fotografer untuk berpartisipasi dalam ajang pamer fotografi bertema Expanding Horizon Photo Hunt. Bertempat di Dermaga Ujung, Mako Armatim, Surabaya, para fotografer pun bergegas memadati Markas Komando Armada Timur RI ini.

Kapan lagi kita diberi kesempatan untuk masuk ke kawasan terlarang sekaligus zona militer. Bahkan kita diijinkan untuk mengksplore tempat itu lebih lanjut. Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Kegagahan markas komando ini pun berhasil saya rekam.


Monumen Jalesveva Jayamahe terlihat kokoh dan terkesan tegas memandang setiap kapal yang akan masuk di dermaga ujung.


 Sebuah ranpur rocket launcher milik kesatuan Marinir Armatim diparkir di tepi dermaga sebagai bentuk antisipasi.


 KRI dr. Soeharso 990 dan KRI Makassar 590 sedang merapat di dermaga ujung, Mako Armatim, Surabaya


Kopaskan TNI-AL sedang lari pagi melintas di depan KRI Oswald Siahaan 354


 Anjungan KRI Oswald Siahaan 354


 Para prajurit Kopaska sedang melaksanakan apel pagi


 Helicopter jenis Bell sedang melintas di samping KRI Oswald Siahaan 354


 Helicopter jenis Bolcow-105 akan landing di helipad KRI Sultan Hasanuddin 366


 Pasukan ranmor Kopaska sedang melakukan simulasi pengamanan


 "Kopaska tidak takut salah, tidak takut kalah, tidak takut jatuh, tidak takut mati. Takut mati, mati saja" - KOPASKA


Para Kowal (Korp Wanita AL) yang banyak diperbantukan di KRI dr. Soedarso


Salah satu kapal yang paling menyita perhatian saya adalah kapal ini, KRI Dewaruci.

KRI Dewaruci sedang bersandar di depan markas komando. Rencananya kapal ini akan digunakan sebagai monumen.

Nah, dipostingan berikutnya saya akan mencoba untuk mengeksplore KRI Dewaruci lebih jauh. Kapal yang namanya telah melegenda ini telah berulang kali mengarungi samudra dan menglilingi dunia. Ternyata fakta-fakta dari kapal ini sungguh mencengangkan.

Kamis, 19 Desember 2013

Taman Hutan Raya R. Soerjo


Teks dan foto oleh Yudi Indra Setyawan

Bagi orang Malang, nama Cangar sudah tidak asing lagi. Hampir semua pernah kesana. Ya pemandian air panas yang terletak di lereng Gunung Welirang ini sangat digemari masyarakat terutama saat akhir pekan. Namun tahukah jika kita menelusuri jalan ke arah Cangar tadi, kita akan masuk ke kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo. Jalan itu bahkan bisa tembus hingga Mojokerto.

Minggu pagi pukul 07.00, cuaca nampak bersih di Malang kota. Langit biru dengan sedikit awan di angkasa. Dengan penuh niat, saya mengendarai motor menuju ke arah Cangar-Batu. Tapi sepertinya prakiraan cuacaku tidak hebat hari ini, cuaca mendung tanpa diduga menyelimuti sekitaran lereng Gunung Welirang dan Gunung Arjuna. Gunung Arjuna yang terkenal gagah itu pun seolah hilang ditelan kabut tebal.

“Pembentukan hujan. Memang siklusnya berakhir di gunung,” ujarku sambil sedikit mengomel. Tanpa ragu kupacu lagi motorku menanjak melewati perkebunan-perkebunan warga. Nyaris sama dengan Ngadas, hanya saja disini tingkat kemiringan dan lokasinya tidak seeksotis di Ngadas dan Ranupani.

Bunga Kol adalah salah satu tanaman kebun yang tumbuh subur disini


Petani menggunakan Jeep 4x4 yang dimodifikasi menjadi pick up untuk mengangkut hasil pann mereka

Hampir seluruh kawasan perkebunan di Cangar dipenuhi tanaman Bunga Kol dan Wortel. Kedua tanaman itu tumbuh sangat subur disini.

Jalan berkelok-kelok dan halusnya aspal membuat perjalanan semakin menyenangkan. Saat semakin naik, melintasi bukit-bukit dan ladang, hawa sejuk mulai terasa. Khas dataran tinggi. Menerpa wajah bak angin dari es yang dihamburkan. Dingin dan sejuk terasa. 45 menit kemudian, saya memasuki gapura bertuliskan Taman Hutan Rakyat R. Soerjo. “Hmm.. sudah dekat,” gumamku. Di kiri, saya  melihat komplek bangunan mirip nursery. Ohh.. ternyata itu adalah Arboretum di tahura ini. Menyimpan ratusan bibit tumbuhan khas dataran tinggi disini. Mengembangbiakkannya dan merehabilitasinya.

15 menit kemudian. Sampailah saya di pintu masuk Wisata Pemandian Air Panas Cangar. Eiitt.. tapi bukan kesana tujuanku kali ini. Tapi jauh masuk ke dalam hutan. Jalanan disitu nampaknya telah diaspal ulang. Halus dan lembut di permukaan ban motorku.

Dua kilometer dari pintu masuk Cangar. Sampailah saya di jembatan kembar Watu Ondo. Jembatan dari rangka baja ini melintang diatas tebing curam dengan sungai kecil yang mengalir sangat deras dibawahnya. Ngeri juga melongok ke bawah.

Tidak sampai satu kilometer lagi, terpampang plakat di kanan jalan “Air Terjun Watu Ondo”. Terlihat masih sangat ‘suci’ dan jarang terjamah. Namun baiknya tempat itu sudah ada yang mengelola dari pihak tahura sendiri.

Terus diriku berkendara. Jalanan mulai gelap. Selain karena tumbuhan hutan yang semakin lebat, juga akibat mendung yang makin pekat. Jalanan ini terasa dipayungi oleh tumbuh-tumbuhan hutan lebat. Menebarkan kedamaian dan kesunyian. Melihat ada spot bagus, saya pun menepi. Mempersiapkan alat gambarku. Mengatur posisi. Mengatur cahaya. Dan…

Pemandangan indah di sepanjang Taman Hutan Raya.

Sepanjang jalan memang seperti ini. Menakjubkan.
Cuaca makin memburuk. Kubereskan peralatanku. Segera diriku bergerak ke arah utara menuju tujuan akhirku. Menara pantau Tahura R. Soerjo. Hey.. kini saya tidak sendirian lagi. Disepanjang jalan saya ditemani monyet-monyet gunung. Mereka sengaja bergerombol di sisi jalan, berharap ada orang yang baik hati melemparkan lusinan cheeseburger.

10 menit berlalu dan sampailah saya di tikungan tajam menurun ke kanan. Saya tidak akan turun, ke bawah, karena tujuanku ada di patahan tikungan itu. Disekitar tikungan itu, ada sebuah warung kopi berdiri dengan pemadangan Bukit Gajah Mungkur di sisi barat. Saya pun parkir motorku di warung itu. Kusempatkan sejenak menikmati kopi khas daerah pegunungan.

Disitu saya berkenalan dengan seorang fotografer. Fotografer yang menggeluti bidang langka dalam fotografi. Bidang fotografi yang dari dulu ingin kuketahui orang-orangnya. Selama enam tahun bergelut di bidang fotografi, baru kali ini saya melihat fotografer di genre ini secara langsung. Ya seorang fotografer wildlife. Dia adalah seorang dosen kedokteran Hewan Unair. Sengaja datang kesini untuk memotret migrasi burung elang. Peralatannya layaknya tentara siap tempur: Bersenjatakan Nikon D7000, lensa super tele 500mm, dan peralatan camouflage. Pak Budi Setiawan namanya. Kami pun mengobrol sejenak, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan nanti.

Awan makin menebal dan hitam. Saya bergegas naik ke atas bukit, menuju menara pengawas. Tapi sebelumnya saya minta ijin dulu ke petugas. Dia mengijinkan dan berpesan agar hati-hati karena cuaca buruk. Menapaki jalan setapak sejauh 250 meter nampaknya bukan perkara sulit, tapi bagaimana jika 250 meter itu berupa tanjakan dengan kemiringan 60 derajat. Lain cerita kan?

Nafas terasa berat begitu sampai diatas. Fiuhh… akhirnya saya melihat sebuah menara pengawas kokoh berdiri. Kondisi menara tersebut masih sangat terawat dan bersih. Saya menaikki tangga demi tangga. 4 kali lipatan tangga dan sampai lah aku diatas. Wahh.. pemandangan yang sangat luar biasa (sebetulnya), tapi hari itu semua nampak putih! Arrghh.. cuaca memang sulit diprediksi. Di Malang cerah namun disini sebaliknya.

Sampai diatas hujan turun dengan deras. “Lengkap sudah,” gerutuku.  Mirip seperti menara pengawas singa-singa di Serengeti, Africa. Saya pun mulai berkhayal berada disana. Lumayan sambil menunggu hujan reda.

Dari pada bengong, self-portrait dari atas menara. Berharap cuaca membaik.


Sebetulnya tergantung kita bagaimana menyikapi cuaca seperti ini. Mau dipakai menggambar bisa, mau dipakai menikmati saja silahkan.


Hujan sedikit reda dan saya pun turun. Ternyata Pak Budi masih duduk di warung dengan kopi panasnya. “Tidak dapat foto, dapat cerita, pegalaman, ilmu, dan relasi pun tidak jadi masalah,” pikirku. Akhirnya kami pun mengobrol santai dan asyik hingga lepas pukul 15.00. Ternyata dia sedang berlatih untuk mengikuti lomba birding di Cangar. Tidak tanggung-tanggung, jurinya adalah Budi Hermawan. Anak didik Riza Marlon, pioneer dan dedengkot fotografi wildlife di Indonesia. Mereka tergabung dalam BWP (Banten Wildlife Photografer) yang membuat grup di Facebook. Saya pun semakin tertarik mendengarkan cerita seputar fotografi wildlife dengan Pak Budi.

Dan ternyata, tidak tanggung-tanggung, kabar terkini mengatakan bahwa dia berhasil menggondol juara 1 dalam lomba birding wildlife tersebut. Luar biasa!

Tidak terasa memang. Hujan sedikit reda, hanya hujan gunung, biasa terjadi di dataran tinggi. Dengan tangan kosong dari atas, saya pun turun kembali ke Malang. Demikian pula dengan Pak Budi, turun kembali ke Surabaya. 

Yahh.. begitulah fotografi outdoor. Saya dan Pak Budi pun pulang dengan tangan kosong. Namun saya mendapatkan relasi, ilmu, dan pengalaman. Tidak benar-benar pulang dengan kekosongan bukan?